Assalamu'alaykum...

Jika tidak ada manfaat yang bisa diambil, semoga tidak ada mudharat yang diperoleh ketika anda "nyasar" ke sini. Salam santun penuh cinta

Kamis, 26 April 2012 - , 1 komentar

Si Tampan Itu, Hafidz Qur'an

Pertama kali melihatnya di salah satu link seorang teman di Facebook, saya langsung 'terpesona'. Bayangkan di usianya yang baru 16 tahun sudah menjadi hafidz Qur'an. Dia adalah Fatih Seferagic. Pemuda kelahiran Jerman berkebangsaan Bosnia ini kini tinggal di Amerika. Yang begini nih, seharusnya menjadi contoh remaja sekarang. Bukan artis-artis tidak jelas yang hanya berorientasi untuk dunia saja.

Saat ini, banyak sekali remaja seusia SMP atau SMU yang tidak bisa membaca Al Qur'an. Jangankan untuk bersuara merdu seperti Fatih ini, mengenal huruf Hijaiyah saja tidak. Semakin miris saya rasakan, ketika saya menjadi salah satu mentor untuk program membaca Al Qur'an di salah satu SMP Negeri di kota ini. Hampir 75% dari mereka tidak bisa membaca Qur'an. Kebanyakan dari mereka sudah lupa. Mungkin sewaktu kecil pernah belajar di TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an) dan begitu beranjak besar, tidak pernah menyentuh Qur'an. 

Menjadi hafidz Qur'an adalah sesuatu yang membahagiakan.  Tidak saja di dunia, namun juga nanti di Yaumil Akhir. Jika semua pemuda-pemudi bisa seperti Fatih Seferagic ini alangkah indahnya negara ini. 

Mau tahu tentang Fatih? Gabung saja di facebook.com/fatihseferagic dan twitter.com/fatihseferagic







Rabu, 25 April 2012 - 0 komentar

Orang Kota



Kaos ketat, rok panjang sampai ke betis, rambut diurai ala Atiek CB  dan kaca mata hitam. Seperti itu sekarang ia berdandan. Dan sekarang coba deh liat aksinya. Siaaaappp!!!

Dengan gincu di bibir yang warnanya pinky-pinky gimanaa gitu, (katanya sih menyesuaikan dengan warna T-shirt nya pagi itu)  ia melambai menyetop taksi eh salah tukang sayur.

“Bang, ade sayur apaan ye?” dengan logat di betawi-betawi-in. Padahal mah logat jawanya masih medok bangettts.

“Ya, Neng maunya sayur apa? Disini semua ada.” Si abang sayur senyum-senyum genit.

“Ih, si abang,toserba kalleee!” (tetep jawanya masih medok euy!).

bay de way aniwei baswey, gue bukan NENG bang namanya.” Lanjutnya masih dengan aksen jawa yang ga nahan.

“Emang namanya siapa?” Abang sayur memainkan matanya dan kemudian menyisir rambutnya dengan pare. Loh, kok pare? Abis yang ada di depannya si pare sih. :d

“Kenalkan, nama gue EGY. E-G-Y. I-Ji-Wai.” Jelasnya sambil spell her name.Halah…

“Oke. Neng Egy mau beli sayur apa?”

Belum sempat ia menjawab tiba-tiba darkberry-nya berbunyi. Berkali-kali tanda notifikasi di efbe nya. Ternyata sebelum keluar beli sayur, dia abis apdet status. Nah, sekarang ada yang komenin statusnya.
Statusnya saat itu adalah “Shopping dulu ahhh…”

Dan komentar dari teman-temannya adalah :

Komentar 1 : Hai, Nem. Pa kbr? Wah jadi orang kota ya skrg? Shoping di emol ya?
Komentar 2 : Wah, asyik ya Nem, skrg koe shoping2 gitu.”
Komentar 3 : Nemmmmm, aku kangeeeen, kpn pulang nduuk?”

Bibir dengan gincu pinky-pinky gimana gituuu tampak mengerucut membaca komentar yang masuk. Si abang sayur tak berkedip melihat makhluk cantik di depannya. Bibir manyun si Egy makin buat dia makin sol sepatu, eh sesuatu deh pokoknya. Bulu mata anti angin topannya pun tampak gagah perkasa bak sang garuda. Loh kok???

“Ade ape Neng Egy? Kok manyun gitu?”

“Kesel aje bang GUE baca komen-komen temen GUE di status GUE.” (kata gue sengaja dibuat kapital semua untuk menghimbau anda semua bahwa harus membaca kalimat tersebut dengan logat jawa yang medok abis. Kalau tidak, harap diulang kembali membacanya. Biar afdhol. Jiakakakak :D)

Lanjuuuuttt!!!

“Kesel nape Neng? Cerite dunk ame abang.” Mulai nih ceritanya aksi maut si abang sayur.

“Gue tuh kan sekarang udah tinggal di kota. Jakarta gitu. Kota metropolitan. Tapi mereka…”

“Mereka kenapa, Neng?”

“Mmm…”

“Apa?”

Si abang sayur menanti dengan sabar si gincu pinky-pinky gimana gitu menjawab. Orang sabar kan disayang Tuhan. Siapa tau Tuhan berbaik hati memberikan Egy yang sangat SESUATU ini kepadanya sebagai permaisuri. Ihiirrr….

Si gincu pinky-pinky gimana gituuu tetap diam.

“Neng, mau cerita ga niiy?”

Hening.

Tiba-tiba ada satu suara menggelegar. Dan suara itu membuat si Egy langsung ngantuk, eh kaget maksudnya. Sementara si abang sayur bingung melihat calon permaisurinya itu kebingungan. Wah, sama-sama bingung deh. Jodoh nih, pikir si abang. (Duuh, kagak nyambung deh. Sama kaya yang nulis ini. Harap maklum. Yang nulis sedang dalam masa galau. Jiahhhh, curcol dah…)

Legineeeeeeeeeeeeeeeemmmmm!!!! Beli bayem seiket aja lambreta deh kamu!”

Spontan si Egy menjawab, “Iya Nyaaaaaa! Ayem kamiiiing.”

Si abang makin bingung. Kenapa Egy menjawab. Kan yang dipanggil Leginem?

“Neng, kok neng yang jawab suara tadi?”

‘Iye Bang, kan gue dipanggil majikan gue tadi.”  

“Kalo ga salah yang dipanggil Leginem deh namanya, Neng?”

“Iya, itu gue Bang.”

Si Abang bingung.  

“Egy and Leginem is de same, Bang?”

Si abang manggut-manggut dan senyum-senyum. Rupanya di kampung namanya Leginem begitu dikota hanya nama tengahnya saja yang dipakai. Egy.  

Leginem oh Leginem…Egy oh Egy. Siapapun namamu aku padamu deh pokoknya. Kamu memang benar-benar “sol sepatu.” Bibirmu, matamu, bulu matamu. Ohhh….:D



 *Ditulis melihat penomena ART di sekitar aye..heheu…cape deehh :D


Minggu, 22 April 2012 - 2 komentar

Dibalik Keganasan Ombaknya


Pantai Muara Putus 
Muara Putus. Itu nama kampungnya. Terletak di ujung Kabupaten Agam, Padang, Sumatera Barat. Kampung kakek nenek dan juga kedua orangtua saya. Kampung yang letaknya sangat jauh dari ibu kota. Butuh waktu 4 sampai 5 jam  untuk sampai di kampung itu dari Bandara. Kampung itu dulunya menurut cerita merupakan kampung nelayan. Namun, seiring waktu warganya semakin tidak tertarik untuk mencari ikan. Dan lebih memilih mata pencaharian lain.

Kampung (yang aslinya) dulu sangat rimbun dengan pepohonan yang rindang, hutan yang lebat, sungai yang jernih dan tidak jauh dari pantai itu kini sudah tiada. Lebih tepatnya sudah bergeser dari tempatnya. Pasalnya kampung itu sudah habis dimakan gelombang laut yang mengikis daratan. Abrasi. Ya, abrasi telah melenyapkan sebagian kenangan kami. Termasuk semua rumah dan juga makam kakek dan nenek kami.

Kini sudah tak ada lagi rumah-rumah panggung berdinding dan beralas kayu. Tidak ada lagi makam para leluhur kami yang berada di bawah pepohonan yang rimbun. Saat berkunjung kesana masih saya lihat reruntuhan bangunan yang dulunya agak jauh dari pantai. Hanya ada satu bangunan yang memang awalnya lumayan  jauh dari pantai. Abrasi belum sempat melahapnya karena letaknya yang memang jauh. Mungkin jika abrasi itu terus berlanjut maka ia juga akan ikut hancur seperti rumah-rumah yang lain. Bangunan itu adalah Masjid.  Karena semua warga  sudah mengungsi dengan merambah hutan yang lain untuk dijadikan penukiman, masjid itu menjadi tak terurus dan akhirnya lapuk dimakan waktu. 

Kampung itu sudah bergeser letaknya dari aslinya dengan nama yang sama. Muara Putus. Dinamakan demikian karena adanya muara yang terputus. Dan untuk letak kampung yang asli, kini sepi. Pantai itu sepi. Pantai yang indah namun sepi peminatnya. 

Abrasi itu menyisakan luka. Namun selalu ada hikmah dari setiap peristiwa. Bukankah Allah tidak pernah menjadikan sesuatu itu sia-sia? Saat ini, kampung itu menjadi kampung yang penuh dengan hiasan kelapa sawit. Perekonomian warganya sedikit demi sedikit mulai meningkat. Kampung nelayan itu kini menjadi kampung kelapa sawit. 

Dan pantai  dengan laut ganas itu tetap ada dengan keindahannya. Cocok sekali untuk melepas penat di sana. Pasirnya yang putih, ombaknya yang besar dan sepi dari hiruk pikuk dunia. Ditambah dengan pemandangan sisa-sisa bangunan yang runtuh menambah syahdu suasana.  Walau semua orang mengatakan, gelombang lautnya begitu besar dan ganas, panorama pantai  itu begitu indah, begitu eksotis. Cocok untuk bermenung diri jika hati sedang gerimis.

Hanya harap yang selalu ada ketika berkunjung ke sana. Abrasi, semoga tidak terjadi lagi.

Di tengah laut sana ada makam kakek dan nenek kami
Pelangi sore hari

Si Abang,  Si Uni dan Si Adek mencari kerang


Deburan Ombak di laut Muara Putus

Sisa-sisa reruntuhan rumah

Pantai Muara Putus menjelang sore

Sepupu, dengan latar Masjid yang masih berdiri

Diriku di antara reruntuhan rumah



Pages

Entri Populer

Salam cinta

Salam cinta