Assalamu'alaykum...

Jika tidak ada manfaat yang bisa diambil, semoga tidak ada mudharat yang diperoleh ketika anda "nyasar" ke sini. Salam santun penuh cinta

Selasa, 29 Mei 2012 - , 3 komentar

Menikmati Proses, Menikmati Metamorfosa

ilustrasi: google
Jika mengenang ketika pertama kali menjejakkan kaki di bangku kuliah, hal yang pertama teringat adalah soal penampilan. Penampilanku yang umum seperti teman-teman lain. T-shirt dan celana jeans. Rambut tergerai tanpa ada sedikitpun rasa malu. Jadi berpikir bahwa rasa malu itu ada karena faktor pengetahuan. Ketika pengetahuanku bertambah, maka rasa maluku pun hadir.

Rasa malu karena belum menutup hijab itu belum ada saat itu. Tak ada secuilpun rasa malu yang hinggap ketika aurat terlihat. Namun, seiring waktu ketika sedikit demi sedikit pengetahuan dan pemahaman tentang apa itu aurat dan hijab bertambah, maka tak ingin sedetikpun aurat ini terlihat oleh yang tidak berhak melihatnya.

Dikenalkan tarbiyah oleh seorang kakak tingkat membuat satu perubahan besar dalam hidupku. Rambutku mulai kubungkus dengan selembar kain. Tapi, hanya sekedar dibungkus saja. Ya, hijab yang aku kenakan saat itu belum sempurna. Celana jeans masih menjadi teman setiaku. 

Meski maju mundur, hilang dan pergi aku mengikuti kegiatan atau kajian yang ada, aku masih bertahan hingga kini. Kenapa hilang dan pergi? Ya, saat itu aku masih begitu labil dan masih belum yakin apakah aku harus berada dalam lingkungan dakwah itu. Hanya beberapa bulan saja aku bertahan bersama mereka. Kemudian dengan alasan kesibukan kuliah, aku selalu absen dari tarbiyah. Intinya aku malas dan belum siap menjadi seperti 'mbak-mbak' itu. Mbak-mbak yang dengan jilbab lebarnya selalu tersenyum dan memberikan 'sentuhan lembut' padaku. Mbak-mbak yang dengan kaos kaki dan manset tidak pernah bosannya  menanyakan kabarku. Ah, ukhuwah itu sebenarnya begitu indah.

Sesal itu terkadang masih suka menyusup di hati. Mengapa dulu aku meninggalkan lingkungan dakwah itu? Mengapa dulu aku tidak memaksakan diri berada di antara mereka?Mengapa aku selalu merasa belum siap untuk berpenampilan seperti mereka? Saat itu aku masih ingin terlihat cantik dengan jilbab mini dan celana jenas ketatku. Mengapa dan mengapa?

Begitu banyak pertanyaan yang terkadang membuat aku kesal dengan diri sendiri. Ketidaksiapan karena tidak ingin berpenampilan seperti mereka membuatku tidak pede berada diantara mereka. Perlahan komunikasi kami terputus. Bukan mereka yang memutuskan, tetapi diriku sendiri. Mungkin ini salah satu tindakan bodoh dalam hidup yang pernah aku lakukan. Menjauh dari orang-orang sholih. Bukan karena aku tak ingin, tetapi lebih memberatkan nafsuku semata. Nafsu yang mana? Nafsu untuk terus mempertontonkan aurat dan lekuk tubuhku. Saat itu aku berpikir, dengan jilbab imut  aku akan tetap terlihat menarik.

Untungnya Allah menunjukkan jalanku. Walau tidak berada dilingkungan dakwah kampus, aku kos bersama sepupu dan seorang teman yang aktif dalam LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Dari merekalah aku terbawa sedikit demi sedikit untuk merubah penampilan. Bukan karena mereka menyuruhku merubah penampilan, tetapi murni dari hati. Aku melihat bahwa keanggunan seorang muslimah semakin terlihat dengan jilbab lebarnya. Tidak kampungan sama sekali, bahkan terlihat elegan.

Tetapi anehnya saat itu aku tetap tidak mau berada dalam lingkungan dakwah kampus. Aku masih enjoy dengan diriku sendiri. Memperbaiki diri perlahan-lahan, tidak ingin ikut-ikutan atau grasa grusu seperti teman yang lain. Ghirah yang meledak-ledak kemudian drastis mengalami kemunduran karena basic-nya belum siap. Kemudian futur sefutur-futurnya. Aku memang selalu berprinsip ingin berpakain yang menurutku nyaman, bukan karena ingin sama seperti orang lain (ikut-ikutan). 

Menikmati proses perlahan, (step by step) dan menikmati metamormosa diri itu lebih indah. Aku tidak ingin berubah mencolok keatas kemudian meluncur dengan drastis karena keyakinan belum kuat. Ada yang awalnya tanpa hijab, kemudian bergamis lengkap dengan kaos kaki dan jilbab lebarnya. Perubahannya begitu cepat, namun hanya bertahan beberapa saat. Dan kembali berpakaian seperti awalnya, tanpa hijab. Gamis dan jilbab lebarnya ditanggalkannya.  Mungkin itu alasanku kala itu. Entahlah...

Untungnya, meski beberapa saat mengenal tarbiyah, aku tidak pernah melupakannya. Kesan indah itu ternyata masih tergolek manis di sudut hati.  Selepas kuliah aku hijrah ke pinggiran Jakarta. Dengan tekad dan niat yang entah muncul dari mana, aku mencari lingkaran dakwah itu. Sendiri. Tanpa kenal siapa-siapa. Nyasar, kelabasan, atau apalah namanya ketika menjemput cahaya cinta itu menjadi satu kenangan tersendiri buatku. Saat itu aku memang belum mengenal sama sekali jalanan ibu kota.

Dan kini, aku kembali berada di lingkungan yang selalu menebar cinta itu. Cinta pada pada Sang Pemilik Cinta. Ilahi Rabbi. Menjadi bagian mereka dalam lingkaran cinta. Jilbab lebar dan kaos kaki ternyata tidak mengurangi kecantikanku. Menikmati hari-hari yang aku suka untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Perduli amat dengan perkataan 'kampungan' yang ditujukan padaku. Biarlah orang berkata apa, yang penting Allah suka. 
ilustrasi: google

Merubah diri menjadi yang lebih baik, termasuk soal penampilan syar'i memang suatu kewajiban. Jika merasa belum siap untuk berpakaian syar'i, maka nikmati saja prosesnya. Dan tetap dengan usaha perubahan kearah yang lebih baik.  Misalnya,  selalu berada diantara orang-orang sholih yang memercikkan kebaikan. Tetapi tidak terus keenakan untuk menikmati proses. Bukankah hasilnya segera ingin di nikmati? Terkadang juga suatu pemaksaan untuk hal baik itu dibutuhkan. Terlebih buat jiwa-jiwa yang yang mudah sekali terwarnai seperti diri ini. Ada angin barat, ikut ke barat. Ada angin timur pun ikut ke timur.

Menikmati proses dan menikmati metamorfosa diri dengan terus menjaga siapa yang menjadi teman dan lingkungan kita. Itu adalah hal terindah dalam proses perbaikan kualitas diri dihadapan Allahu Rabbi.

Habibullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الرجل على دين خليله فلينظر أحد كم من يخا لل

“Seseorang itu tergantung kepada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang dijadikan teman karibnya.”
[Hadits hasan, riwayat Tirmidzi (no. 2387), Ahmad (no. 8212), dan Abu Dawud (no. 4833)]

Untuk terus bisa menikmati proses menjadi muslimah yang baik, maka pandai-pandailah mencari teman. Salah memilih teman, maka fatal akibatnya. Siapa teman kita, seperti itulah kita.  Seperti hadits berikut;


إنما مثل الجليس الصا لح والجليس السوء كحا مل المسك ونا فخ الكير فحا مل المسك إما أن يحذ يك (يعطيك) وإما أن تبتاع منه وإما أن تجد منه ريحا طيبة ونا فخ الكير إما أن يحرق ثيا بك وإما أن نجد منه ريحا خبـيثـة

“Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau kamu membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Dan seorang pandai besi bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang tidak sedap.”
[Hadits Shahih, riwayat Bukhari (no. 5534), Muslim (no. 2638), Ahmad (no. 19163)]


Allahu musta'an

3 komentar:

Unknown 6 Januari 2013 pukul 18.42

Assalamualaikum ..

Blog yang simple, syarat akan inspirasi .. :)
BW...


Bayti 6 Januari 2013 pukul 21.01

'alaikumsalam waohmatullah... terima kasih sudah mampir, salam kenal :)

Unknown 6 Januari 2013 pukul 22.53

iyah salam kenal juga ukhty :)

Posting Komentar

Pages

Entri Populer

Salam cinta

Salam cinta